Minggu, 02 Desember 2012

gunung awu kepulauan sangihe

Gunung  Awu / kepulauan Sangihe

Gunung Awu merupakan salah satu dari 129 gunung berapi yang ada di lintasan cincin api nusantara meskipun tidak berada di lempeng Indo-australia, Pasifik atau Eurasia melainkan di lempeng Filipina. Awu dalam Bahasa Sangihe berarti abu atau sisa sehingga dipahami oleh masyarakat Sangihe bahwa sosok Gunung Awu saat ini hanyalah sisa dari sosok Gunung Awu di masa lalu yang pernah menghadirkan katastrofi yang begitu dahsyat. Awu saat ini hanya berjarak sekitar 5-7 kilometer dari kampung-kampung sekitar, tampak berselimut kebun-kebun kelapa dan pala, diramaikan oleh pemukiman penduduk, kadang nampak berkabut, bersemayam dalam damai dan memberikan kesuburan luar biasa bagi kebun-kebun pala, cengkeh, dan kelapa milik masyarakat.
Gunung Awu adalah satu gunung bertipe stratovolcano yang berlokasi di bagian utara Pulau Sangihe Besar, Kepulauan Sangihe. Memiliki profil setinggi 1320 m dari permukaan laut namun jika dihitung dari dasar laut tingginya mencapai 3300 meter. Dari catatan Smithsonian Global Volcanism Program, Gunung Awu pernah meletus pada tahun 1640-41, 1711, 1812, 1856, 1875, 1883, 1885, 1892, 1893, 1913, 1921, 1922, 1930, 1966, 1992, dan yang terakhir adalah 2004. Total telah merenggut sekitar 8000 nyawa dan ribuan orang harus mengalami cidera, kerusakan pemukiman, dan pengungsian besar-besaran. Dari daftar peristiwa letusan di atas, letusan pada tahun 1711, 1856 serta 1966 adalah yang tercatat cukup besar.
Rimpulaeng Macpal, 55 tahun, seorang masyarakat Kendahe menuturkan bahwa saat itu tanggal 12 Agustus 1966, ia masih di sekolah ketika pada jam 9 pagi, ada yang berteriak-teriak karena melihat munculnya asap hitam dari arah puncak Awu. Seketika orang-orang berlarian menuju rumah masing-masing, dan seiring dengan keriuhan itu pada pukul 9.30an terjadilah hujan batu pijar menghantam kawasan kampung Kendahe yang berada di sebelah barat Gunung Awu ini. Hujan batu pijar ini terus terjadi sampai tengah hari. Seusai hujan batu pijar ini, bergelombanglah pengungsian oleh penduduk menuju lokasi aman yang mereka telah tentukan yakni di sebuah pantai di sisi utara kampung melalui jalur laut, namun ada juga yang tetap bertahan di mesjid atau gereja. Setelah reda, saat semua orang telah kembali, mereka menyaksikan kampung mereka telah terbakar, atap-atap rumah-rumah hancur oleh batu pijar maupun abu vulkanik. Kondisi inilah yang memaksa sebagian besar warga kemudian diungsikan dan tinggal di Bolaang Mongondow.
1345542866239381897
Letusan Gunung Awu tahun 1966 (dok. J Matahelumual/Volcanological Survey Indonesia)
Tak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa Awu akan meletus hari itu. Namun menurut Ridion Sasiang, seorang tokoh masyarakat Kendahe sebenarnya ada tanda sebelum kejadian itu menurut orang-orang tua yakni munculnya orang gila di kampung entah dari mana yang berteriak-teriak bahwa gunung akan meletus dan menyuruh orang-orang pergi. Namun tak ada yang terlalu memperhatikan peringatan dari orang gila itu.. Menurut Science Daily pada tahun itu sebuah ledakan berskala indeks Moderate-Large menghancurkan beberapa kawasan di pulau ini dan merenggut 3000 jiwa akibat awan panas serta gelombang ledakan dari magma. Akan tetapi terdapat sebuah catatan yang sangat menarik selain kejadian geologis semata mengenai kejadian ini. Masyarakat Sangihe khususnya Kendahe mengingat masa ini sebagai masa paling kelam dalam sejarahnya karena dalam angka 3000 tersebut, juga terdapat anggota kerajaan junjungan mereka, nenek moyang mereka yang tenggelam bersama seluruh kerajaan dan “kota” Maselihe yang indah.
Menurut masyarakat Kendahe dan Sangihe umumnya, pada saat itu tak hanya letusan gunung yang membunuh melainkan juga terjadi angin puting beliung dan tsunami hebat sehingga kejadian itu dianggap sebuah malapetaka besar. Keyakinan lain adalah bahwa kejadian multibencana inilah yang menyebabkan kerajaan tenggelam (secara harafiah) ke dalam laut dan meninggalkan sebuah daerah tak berpenghuni yang sekarang dikenal dengan nama Tanjung Maselihe, tanjung yang terbentuk akibat tenggelamnya tanah dan kerajaan Maselihe di masa lalu.
Cerita ini kemudian berkembang antara sejarah dan mitos, berkelindan dalam memori segenap warga Sangihe bahwa mereka tinggal begitu dekat dengan bahaya. Awu adalah bahaya sekaligus berkat bagi mereka. Namun kejadian tersebut tak kemudian hilang, melalui mitos berkembanglah pembelajaran turun temurun, kisah yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi agar selalu orang-orang mengingat dan memandang penting keberadaan G. Awu bagi kehidupan mereka. Di Sangihe ada dua mitos yang terkait dengan gunung ini, yang pertama adalah Legenda Raksasa Bakeng dan yang lain adalah Mitos Maselihe. Keduanya bercerita tentang relasi antara tindakan manusia dan akibat-akibatnya.
Legenda raksasa Bakeng adalah legenda yang bercerita tentang seorang raksasa pemakan manusia yang ditipu oleh dua orang pemuda pemberani yang berjuang melepaskan saudari mereka dari ancaman dimakan oleh sang Bekang. Raksasa ini ditipu dengan menukar saudari mereka dengan anak sang raksasa sendiri, maka terjadilah hal paling memilukan yakni raksasa itu memakan anaknya sendiri. Dalam marah sebelum kematiannya, sang raksasa mengeluarkan kutukan bahwa matanya akan selalu melihat mereka dan akan membakar anak keturunan mereka. Kematian raksasa ini menandai munculnya Gunung Awu.
Mitos Maselihe berkembang dari kejadian sebenarnya yakni erupsi tahun 1711 (catatan mengenai angin puting beliung dan tsunami tidak tersedia) berkaitan dengan tenggelam dan hilangnya Kerajaan Maselihe (ini juga catatan sejarah sesungguhnya) akibat bencana besar itu. Ada keyakinan pada sebagian besar masyarakat (namun ada juga yang menolak teori ini) bahwa bencana besar itu merupakan jawaban alam akan pelanggaran besar yang dilakukan oleh sang raja yakni mengawini anak kandungnya sendiri.
Tak terasa, perjalanan sekitar 4 jam mengantar kami di sebuah punggungan bukit di mana terdapat sebuah tanah agak lapang untuk membangun tenda. Dari sana pemandangan di bawah sungguh indah di mana ujung-ujung dataran tinggi sekitar Sangihe tampak menjulang di antara kegelapan di mana Laut Sulawesi mengelilinginya. Di atas kami sebuah lingkaran cincin bulan tampak utuh tanpa penghalang sementara di belakang kami tampak dinding bervegetasi yang akan kami daki nanti menuju puncak. Seluruh cerita dan refleksi tadi ikut berenang dalam pikiran bercampur dengan dinginnya malam. Menjadikannya pengantar tidur yang sempurna.
Pagi dini hari, saat gelap masih menyelubungi sekitar, kami mengepak kembali peralatan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak kawah G Awu yang terkenal itu. Medan yang tadinya bersemak dan penuh ilalang berubah menjadi lapisan batuan lava yang mengeras layaknya gunung api bertipe strato. Matahari mulai muncul di sisi timur dan menerangi permukaan bumi, menyibak hijaunya hutan yang semalam kami lewati dan membuka sinar keemasan yang terpantul dari laut. Sampai di puncak, kami berdiri di tepian kaldera namun tak bisa melihat ke dalam karena masih penuh kabut. Saya menunggu sambil penasaran ingin melihat kubah lava dan danau yang terbentuk sejak letusan 1922 yang sempat hancur oleh letusan 1931 dan 1966 sedangkan saat ini kubah ini kembali tumbuh.
13455430332041171443
Penampakan Kubah Lava tahun 1931 (Volcanological Survey Indonesia)
Akhirnya kabut pun menghilang dari kawah dan tersajilah sebuah pemandangan indah di mana sebuah kubah lava tumbuh di tengah-tengah kawah dan masih mengeluarkan asap solfatara. Di sekitarnya masih tampak air yang merupakan sisa dari danau kawah di masa lalu. Keberadaan kubah lava di tengah-tengah kawah itu seolah menjadi jam weker bagi semua orang bahwa gunung itu masih tumbuh dan suatu hari ia akan meledak.
13455432061235566356
Penampakan Kubah Lava pasca erupsi 2004 (foto diambil Januari 2012/dok. Yoppie/Bingkai Indonesia).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar