Gunung Awu / kepulauan Sangihe
Gunung Awu merupakan salah satu dari 129
gunung berapi yang ada di lintasan cincin api nusantara meskipun tidak berada
di lempeng Indo-australia, Pasifik atau Eurasia melainkan di lempeng Filipina.
Awu dalam Bahasa Sangihe berarti abu atau sisa sehingga dipahami oleh
masyarakat Sangihe bahwa sosok Gunung Awu saat ini hanyalah sisa dari sosok
Gunung Awu di masa lalu yang pernah menghadirkan katastrofi yang begitu
dahsyat. Awu saat ini hanya berjarak sekitar 5-7 kilometer dari kampung-kampung
sekitar, tampak berselimut kebun-kebun kelapa dan pala, diramaikan oleh
pemukiman penduduk, kadang nampak berkabut, bersemayam dalam damai dan
memberikan kesuburan luar biasa bagi kebun-kebun pala, cengkeh, dan kelapa
milik masyarakat.
Gunung Awu
adalah satu gunung bertipe stratovolcano
yang berlokasi di bagian utara Pulau Sangihe Besar, Kepulauan Sangihe. Memiliki
profil setinggi 1320 m dari permukaan laut namun jika dihitung dari dasar laut
tingginya mencapai 3300 meter. Dari catatan Smithsonian Global Volcanism Program, Gunung Awu pernah meletus
pada tahun 1640-41, 1711, 1812, 1856, 1875, 1883, 1885, 1892, 1893, 1913, 1921,
1922, 1930, 1966, 1992, dan yang terakhir adalah 2004. Total telah merenggut
sekitar 8000 nyawa dan ribuan orang harus mengalami cidera, kerusakan
pemukiman, dan pengungsian besar-besaran. Dari daftar peristiwa letusan di
atas, letusan pada tahun 1711, 1856 serta 1966 adalah yang tercatat cukup
besar.
Rimpulaeng
Macpal, 55 tahun, seorang masyarakat Kendahe menuturkan bahwa saat itu tanggal
12 Agustus 1966, ia masih di sekolah ketika pada jam 9 pagi, ada yang
berteriak-teriak karena melihat munculnya asap hitam dari arah puncak Awu.
Seketika orang-orang berlarian menuju rumah masing-masing, dan seiring dengan
keriuhan itu pada pukul 9.30an terjadilah hujan batu pijar menghantam kawasan
kampung Kendahe yang berada di sebelah barat Gunung Awu ini. Hujan batu pijar
ini terus terjadi sampai tengah hari. Seusai hujan batu pijar ini,
bergelombanglah pengungsian oleh penduduk menuju lokasi aman yang mereka telah
tentukan yakni di sebuah pantai di sisi utara kampung melalui jalur laut, namun
ada juga yang tetap bertahan di mesjid atau gereja. Setelah reda, saat semua
orang telah kembali, mereka menyaksikan kampung mereka telah terbakar,
atap-atap rumah-rumah hancur oleh batu pijar maupun abu vulkanik. Kondisi
inilah yang memaksa sebagian besar warga kemudian diungsikan dan tinggal di
Bolaang Mongondow.

Letusan Gunung
Awu tahun 1966 (dok. J Matahelumual/Volcanological Survey Indonesia)
Tak ada
tanda-tanda sebelumnya bahwa Awu akan meletus hari itu. Namun menurut Ridion
Sasiang, seorang tokoh masyarakat Kendahe sebenarnya ada tanda sebelum kejadian
itu menurut orang-orang tua yakni munculnya orang gila di kampung entah dari
mana yang berteriak-teriak bahwa gunung akan meletus dan menyuruh orang-orang
pergi. Namun tak ada yang terlalu memperhatikan peringatan dari orang gila itu..
Menurut Science Daily pada
tahun itu sebuah ledakan berskala indeks Moderate-Large
menghancurkan beberapa kawasan di pulau ini dan merenggut 3000 jiwa akibat awan
panas serta gelombang ledakan dari magma. Akan tetapi terdapat sebuah catatan
yang sangat menarik selain kejadian geologis semata mengenai kejadian ini.
Masyarakat Sangihe khususnya Kendahe mengingat masa ini sebagai masa paling
kelam dalam sejarahnya karena dalam angka 3000 tersebut, juga terdapat anggota
kerajaan junjungan mereka, nenek moyang mereka yang tenggelam bersama seluruh
kerajaan dan “kota” Maselihe yang indah.
Menurut
masyarakat Kendahe dan Sangihe umumnya, pada saat itu tak hanya letusan gunung
yang membunuh melainkan juga terjadi angin puting beliung dan tsunami hebat
sehingga kejadian itu dianggap sebuah malapetaka besar. Keyakinan lain adalah
bahwa kejadian multibencana inilah yang menyebabkan kerajaan tenggelam (secara
harafiah) ke dalam laut dan meninggalkan sebuah daerah tak berpenghuni yang
sekarang dikenal dengan nama Tanjung Maselihe, tanjung yang terbentuk akibat
tenggelamnya tanah dan kerajaan Maselihe di masa lalu.
Cerita ini
kemudian berkembang antara sejarah dan mitos, berkelindan dalam memori segenap
warga Sangihe bahwa mereka tinggal begitu dekat dengan bahaya. Awu adalah
bahaya sekaligus berkat bagi mereka. Namun kejadian tersebut tak kemudian
hilang, melalui mitos berkembanglah pembelajaran turun temurun, kisah yang
selalu diwariskan dari generasi ke generasi agar selalu orang-orang mengingat
dan memandang penting keberadaan G. Awu bagi kehidupan mereka. Di Sangihe ada
dua mitos yang terkait dengan gunung ini, yang pertama adalah Legenda Raksasa
Bakeng dan yang lain adalah Mitos Maselihe. Keduanya bercerita tentang relasi
antara tindakan manusia dan akibat-akibatnya.
Legenda raksasa
Bakeng adalah legenda yang bercerita tentang seorang raksasa pemakan manusia
yang ditipu oleh dua orang pemuda pemberani yang berjuang melepaskan saudari
mereka dari ancaman dimakan oleh sang Bekang. Raksasa ini ditipu dengan menukar
saudari mereka dengan anak sang raksasa sendiri, maka terjadilah hal paling
memilukan yakni raksasa itu memakan anaknya sendiri. Dalam marah sebelum
kematiannya, sang raksasa mengeluarkan kutukan bahwa matanya akan selalu
melihat mereka dan akan membakar anak keturunan mereka. Kematian raksasa ini
menandai munculnya Gunung Awu.
Mitos Maselihe
berkembang dari kejadian sebenarnya yakni erupsi tahun 1711 (catatan mengenai
angin puting beliung dan tsunami tidak tersedia) berkaitan dengan tenggelam dan
hilangnya Kerajaan Maselihe (ini juga catatan sejarah sesungguhnya) akibat
bencana besar itu. Ada keyakinan pada sebagian besar masyarakat (namun ada juga
yang menolak teori ini) bahwa bencana besar itu merupakan jawaban alam akan
pelanggaran besar yang dilakukan oleh sang raja yakni mengawini anak kandungnya
sendiri.
Tak terasa,
perjalanan sekitar 4 jam mengantar kami di sebuah punggungan bukit di mana
terdapat sebuah tanah agak lapang untuk membangun tenda. Dari sana pemandangan
di bawah sungguh indah di mana ujung-ujung dataran tinggi sekitar Sangihe
tampak menjulang di antara kegelapan di mana Laut Sulawesi mengelilinginya. Di
atas kami sebuah lingkaran cincin bulan tampak utuh tanpa penghalang sementara
di belakang kami tampak dinding bervegetasi yang akan kami daki nanti menuju
puncak. Seluruh cerita dan refleksi tadi ikut berenang dalam pikiran bercampur
dengan dinginnya malam. Menjadikannya pengantar tidur yang sempurna.
Pagi dini hari,
saat gelap masih menyelubungi sekitar, kami mengepak kembali peralatan untuk
melanjutkan perjalanan ke puncak kawah G Awu yang terkenal itu. Medan yang
tadinya bersemak dan penuh ilalang berubah menjadi lapisan batuan lava yang
mengeras layaknya gunung api bertipe strato.
Matahari mulai muncul di sisi timur dan menerangi permukaan bumi, menyibak
hijaunya hutan yang semalam kami lewati dan membuka sinar keemasan yang
terpantul dari laut. Sampai di puncak, kami berdiri di tepian kaldera namun tak
bisa melihat ke dalam karena masih penuh kabut. Saya menunggu sambil penasaran
ingin melihat kubah lava dan danau yang terbentuk sejak letusan 1922 yang
sempat hancur oleh letusan 1931 dan 1966 sedangkan saat ini kubah ini kembali
tumbuh.

Penampakan
Kubah Lava tahun 1931 (Volcanological Survey Indonesia)
Akhirnya kabut
pun menghilang dari kawah dan tersajilah sebuah pemandangan indah di mana
sebuah kubah lava tumbuh di tengah-tengah kawah dan masih mengeluarkan asap
solfatara. Di sekitarnya masih tampak air yang merupakan sisa dari danau kawah
di masa lalu. Keberadaan kubah lava di tengah-tengah kawah itu seolah menjadi
jam weker bagi semua orang bahwa gunung itu masih tumbuh dan suatu hari ia akan
meledak.

Penampakan
Kubah Lava pasca erupsi 2004 (foto diambil Januari 2012/dok. Yoppie/Bingkai
Indonesia).